Siang itu pemandangan di pertigaan
Gellael tidak berbeda dengan hari-hari biasa. Pemandangan ketika lampu
lalu lintas menyala merah. Pemandangan ketika anak-anak jalanan
berhamburan menghampiri orang-orang yang terpaksa berhenti. Pemandangan
ketika anak-anak menjulurkan tangan — sebagian sambil mengelus-elus
perut, sebuah ungkapan yang menggantikan kalimat “aku lapar”.
Pemandangan ketika seorang ibu ikut menjulurkan tangan kanannya,
sementara tangan kiri menahan kain yang menutupi tubuh bayinya — sebuah
ungkapan kasih naluriah seorang ibu yang sedang melindungi bayinya dari
panas terik matahari.
Beberapa orang tidak mempedulikan
anak-anak ini, tetapi ada juga pengendara motor yang merogoh kantong
atau pengendara mobil yang merogoh tempat uang receh di pintu mobilnya.
Uang yang memang sudah dipersiapkan untuk keperluan seperti ini, ataupun
keperluan lain juga.
Begitu lampu hijau menyala,
anak-anak ini menyingkir; ibu dengan bayinya juga ikut menyingkir.
Sebagian naik ke jalur hijau, sebagian lagi kembali ke pinggir jalan,
menunggu lampu merah menyala kembali. Para pengendara yang sudah memberi
uang receh maupun yang tidak punya kepedulian juga melanjutkan
perjalanannya.
Inilah pemandangan sehari-hari di persimpangan Gellael.
Uyan, seorang anak berumur
delapan tahun juga ikut menghambur kejalan begitu lampu menyala merah.
Anak ini juga ikut mencari makan. Ayahnya, seorang bapak jalanan;
ibunya, seorang ibu jalanan terpaksa membiarkan anaknya hidup dengan
cara seperti ini.
Ibunya pernah bercerita, sejak
bayi anaknya ini sudah ikut mencari makan, dengan cara menangis dalam
gendongan. Sekarang mereka sudah berpisah. Masih-masing mencari makan di
tempat terpisah. Ayah mengemis di pasar, ibu mencari uang di perempatan
sekitar beberapa kilometer dari persimpangan Gellael.
Dulu, keluarga ini selalu
berkumpul begitu malam tiba, tetapi akhir-akhir ini Uyan sudah malas
pulang ke pondok orang tuanya. Ia lebih suka berkumpul dengan
teman-temannya di emperen stasion. Lebih ramai, dan kadang-kadang bisa
ikut menonton televisi, melihat orang-orang kaya dengan rumah bagusnya.
Kadang ia main ke tempat orang
tuanya, mereka juga kadang-kadang menengoknya di stasion. Melihat apakah
anak mereka satu-satunya ini bisa makan di dunia yang katanya begitu
kejam ini.
Uyan tidak pernah ingat mulai
kapan mencari makan sendiri, yang pasti bukan orang tuanya yang
menyuruh. Ia melihat teman-temannya meminta uang di dekat lampu merah,
ia menganggapnya sebagai sebuah bentuk permainan. Lama kelamaan
melakukannya karena merasa itu harus dilakukan kalau tidak ingin
kelaparan. Sama sekali tidak seorangpun menyuruh atau memaksanya.
***
Tidak ada yang istimewa siang
itu, suasananya di persimpangan Gellael biasa-bisa saja. Tetapi entah
datang darimana, tiba-tiba beberapa orang berlarian ke arah anak-anak
yang sedang mencari makan, lalu melakukan penangkapan, Uyan dan
kawan-kawannya tidak sempat melarikan diri. Ibu dengan anak dalam
gendongannya juga tidak sempat melarikan diri. Semua dimasukkan ke dalam
sebuah truk tertutup.
Truk ini melaju ke tempat yang
tidak diketahui oleh Uyan. Seandainyapun bisa melihat keluar, ia tetap
tidak akan bisa tahu ke arah mana truk membawanya. Anak ini sangat
ketakutan, apalagi ketika teringat cerita menakutkan tentang orang-orang
yang menangkap anak jalanan. Katanya kalau sudah tertangkap, tidak ada
yang bisa kembali, tidak tahu entah dibawa ke mana. Seseorang pernah
berkata, anak jalanan yang tertangkap akan dibuang ketempat yang sangat
jauh.
Perjalanan truk ini pasti sangat
jauh, ia bisa merasakannya. Akhirnya truk ini terasa melambat setelah
memasuki sebuah belokan, bahkan akhirnya berhenti. Mereka telah sampai
ke suatu tempat, tempat yang tidak dikenalnya. Begitu bagian belakang
truk terbuka, seseorang dengan lembut menyuruh mereka semua keluar.
Begitu turun, setiap anak
mendapat minuman. Lalu anak laki-laki dipisahkan dari anak perempuan.
Yang perempuan disuruh mengikuti dua orang wanita ke sebuah bangunan,
sedangkan Uyan dan kawan-kawannya disuruh mengikuti tiga orang pria ke
sebuah bangunan juga, ternyata tempat untuk mandi. Setiap anak menerima
sepasang pakaian baru yang bersih begitu selesai mandi.
“Semua berkumpul ke bangunan
itu,” kata seorang bapak sambil menunjuk bangunan besar di dekat tempat
mereka mandi. Bangunan ini isinya meja-meja panjang penuh dengan piring
dan makanan. Anak ini makin heran dan entah mengapa malah makin
ketakutan.
Sesudah makan mereka disuruh
keluar lagi, anak laki-laki dan wanita kembali dipisahkan, kali ini anak
laki-laki digiring ke sebuah bangunan. Anak perempuan juga digiring
menuju bangunan di depannya. Kedua bangunan dipisahkan oleh sebuah tanah
lapang. Setiap empat anak disuruh memasuki sebuah kamar. Uyan dan tiga
anak lain disuruh masuk ke sebuah kamar dengan tempat tidur susun, kamar
yang tampak bersih.
“Kalian tidur disini,” kata
bapak yang menyuruh mereka masuk. Lalu berkata kepada Uyan, “kamu tidur
di atas sini,” mungkin karena Uyanlah yang paling kecil di antara ketiga
temannya.
Hari belum begitu malam, tetapi
Uyan dan teman-temannya tidak punya pilihan, mereka harus tidur. Uyan
tidak mengantuk, tetapi entah mengapa langsung tertidur begitu kepalanya
menyentuh bantal yang empuk. Untuk pertama kalinya ia tidur di atas
tempat tidur empuk dan bersih.
Ia terbangun begitu mendengar
bunyi keras didalam kamar, seperti sirine mobil polisi. Lalu terdengar
suara dari kotak hitam di salah satu ujung langit-langit kamar. Suara
yang menyuruh mereka keluar dan berkumpul di lapangan yang memisahkan
tempat anak laki-laki dengan anak perempuan.
Setelah mandi dan makan, sarapan
yang membuat perut Uyan sakit, karena tidak terbiasa sarapan pagi,
beberapa pria mengantar mereka ke sebuah bangunan lain lagi. Bangunan
dengan sebuah ruangan yang sangat besar. Sudah banyak anak berkumpul di
dalamnya, anak-anak yang tidak dikenal oleh Uyan. Menurutnya jumlahnya
sekitar jumlah anak di limapuluh perempatan yang ada lampu merahnya.
Semuanya memakai pakaian sama, kaos dengan tulisan yang tidak bisa
dibacanya.
“Jangan takut, kami mengumpulkan
kalian di sini bukan untuk menghukum kalian. Kami mengumpulkan kalian
demi masa depan kalian sendiri,” kata seorang pria yang duduk di meja
menghadap ke arah mereka. Pria ini tampak baik dan penuh belas kasihan,
jenis orang yang sangat disukai oleh Uyan.
“Kami akan mendidik kalian
menjadi orang-orang yang berguna bagi masyarakat,” lanjutnya dengan
penuh semangat, “kami akan mendidik kalian supaya tidak menjadi sampah
masyarakat lagi.”
Uyan tidak mampu mengerti
perkataan orang ini, pikirannya melayang ke persimpangan dimana ia
seharusnya mencari uang. Juga teringat orang tuanya. Saat ini mereka
mungkin masih belum tahu penangkapan itu. Mereka baru mulai mencarinya
kalau ia tidak muncul di pondok selama beberapa minggu. Seandainya
mereka sudah mendengarnya, ia berharap mereka tidak terlalu cemas.
Menurutnya, bapak ini sudah
berbicara sekitar duapuluh kali lampu merah berganti ketika pantatnya
mulai terasa sakit. Ia tidak tahan duduk diam seperti ini, benar-benar
membosankan. Apalagi tidak bisa berbuat apa-apa, beberapa orang
mengawasi mereka. Bapak ini terus berbicara tentang sesuatu yang tidak
dimengertinya, tanpa peduli dengan anak-anak yang sedang ketakutan,
takut karena belum mengerti.
Uyan tahu banyak orang yang baik
dan mengasihi dia. Ia juga tahu orang-orang di tempat ini juga baik,
tetapi ia merasa takut. Ia sudah sudah terbiasa dengan orang-orang yang
menolong tanpa ikatan. Ia sudah terbiasa dengan orang-orang yang pergi
begitu saja setelah menolongnya. Ia sekarang ketakutan karena
orang-orang baik ini berbicara tentang hal-hal yang tidak dipahaminya.
Akhirnya bapak ini selesai
berbicara, lalu anak-anak dibawa ke sebuah bangunan yang penuh dengan
mesin dan potongan kayu. Anak-anak dipisahkan ke dalam beberapa
kelompok. Kelompok Uyan disuruh berkumpul didekat seorang bapak yang
sedang merekatkan potongan kayu. Setelah beberapa saat,
potongan-potongan itu menjadi sebuah mobil mainan.
Seorang bapak berkata, “Kalian akan diajarkan supaya bisa melakukan hal seperti ini, juga ketrampilan lainnya.”
Selama beberapa hari berikutnya,
anak-anak ini bekerja di bangunan yang ternyata bernama bengkel.
Kadang-kadang mereka juga disuruh masuk ke sebuah bangunan yang ada
papan putih di depannya. Seorang bapak mencoret-coret papan itu, lalu
menyuruh mereka menulis garis-garis-garis aneh seperti itu. “lihat ke
papan tulis”, “tulis ke buku kalian”, membuat Uyan tahu papan putih itu
namanya papan tulis, benda di tangannya bernama buku tulis.
Setelah beberapa minggu ia mulai
bosan. Sudah tahu nama hari, jam, cara membuat mainan dari kayu, tidak
membuatnya merasa nyaman. Ia sudah belajar banyak hal, tetapi malah
merasa bosan. Bosan duduk berjam-jam membuat mainan, bosan
mencoret-coret buku tulis, bosan mengingat bentuk corat-coret itu. Bosan
mendengar orang lain berbicara panjang lebar. Ia merindukan suasana
ketika berlarian setiap kali lampu merah menyala lalu menyingkir begitu
lampu hijau menyala.
Makan teratur, disiplin kerja,
tidur teratur, sudah menjadi kata yang akrab di telinganya. Tetapi
rasanya lebih enak makan kalau sudah dapat uang. Lebih enak tidur di
emperan stasion, bisa tidur kalau sudah mengantuk. Lebih enak menonton
polisi mengejar orang yang tidak pakai helm daripada menulis huruf-huruf
aneh. Kebosanan membuatnya merindukan pandangan orang-orang yang
mengasihi mereka, orang-orang yang nemberi uang lalu pergi.
Suatu hari, ia menemukan banyak
tutup botol di sebuah bak sampah. Diam-diam ia mengambil dan
menyembunyikannya di kamar — dibawah lemari. Tidak akan ada yang
menemukannya di situ. Juga mengambil beberapa paku kecil serta sepotong
kayu sebesar baterei dari bengkel. Diam-diam, ketika tidak ada orang di
kamar, ia memaku tutup botolnya di sepanjang kayu ini. Bagian pertama
rencananya selesai, ketika alat buatannya bisa mengeluarkan bunyi setiap
kali dipukul.
Beberapa hari kemudian ia
mendapat kesempatan melarikan diri. Ketika teman-temanya sudah tidur,
diam-diam ia keluar kamar, lalu memanjat tembok, tidak sampai seperempat
jam ia sudah menjadi orang bebas. Dalam hati ia berkata, “aku punya
cerita yang bagus untuk diceritakan kepada teman-teman.”
Ia tidak tahu berada dimana
sekarang — tidak masalah. Sudah sering orang tuanya membawanya
berpindah-pindah. Yang harus dilakukannya hanyalah mencari tempat
perhentian bis, lalu naik sambil memukul-mulul tutup botolnya. Sekarang
ia hanya perlu berjalan mengikuti arah bis yang lewat, pasti ada tempat
perhentian bis beberapa kilometer lagi. Lalu tidur begitu sampai, besok
pagi baru naik — tidak perduli naik kemana. Masih banyak orang yang
penuh belas kasihan.
Ia tidak tahu berada di kota apa
sekarang, tidak tahu orang tuanya di mana. Mereka telah mengajarkannya
mencari makan dan hidup, semoga mereka tidak terlalu mengkhawatirkannya.
Ia akan mencari mereka nanti, tidak sekarang. Saat ini ia harus pergi
sejauh-jauhnya dulu. Uyan sama sekali tidak mengantuk, ia telah belajar
tentang jam, sehingga tahu telah berjalan selama berjam-jam ketika
akhirnya menemukan tempat perhentian bis. Seseorang sedang tidur di
situ, pasti orang gila karena membawa buntalan pakaian — tidak apa-apa.
Ia membaringkan diri agak jauh dari orang gila itu, lalu tertidur.
***
Besok ia akan pergi ke suatu
tempat yang tidak diketahuinya — tidak apa-apa, masih banyak orang yang
mengasihi anak jalanan. Ia cuma tinggal memukul-mukul tutup botolnya di
sebuah persimpangan, persimpangan yang ada lampu merahnya.
Ia baru akan berhenti menjadi
anak jalanan kalau sudah tidak ada lagi orang yang punya belas kasihan.
Ya, ia baru akan berhenti menjadi anak jalanan kalau orang-orang yang
memberi uang lalu pergi itu sudah tidak ada lagi. Kalau mereka masih
ada, ia akan tetap menjadi anak jalanan, lalu menjadi bapak jalanan,
lalu kemudian menjadi kakek jalanan.