Pulau Batang Lampe, demikian nama
pulau ini. Ia merupakan salah satu pulau dari gugusan sembilan pulau
yang berada di kecamatan Pulau Sembilan, kabupaten Sinjai, Sulawesi
Selatan. Adapun kesembilan pulau tersebut masing masing terbagi dalam
beberapa desa yang memiliki karakteristik dan keunikan tersendiri.
Pulau Batang Lampe sendiri masuk dalam
wilayah Desa Padaelo yang mencakup dua area pulau yaitu Pulau Batang
Lampe dan Pulau Kodingare. Rata- rata jarak keseluruhan pulau sekitar 3
mil dari Lepas pantai Cappa Ujunge-kab. Sinjai. Karena terdiri dari
beberapa desa yang dalam satu gugusan pulau, akhirnya ke sembilan pulau
ini pun akhirnya tercatat dalam suatu wilayah admistrasi kecamatan yaitu
kecamatan Pulau Sembilan.
Letak Pulau Batang Lampe ini
terletak di wilayah paling utara di lepas pantai Sinjai (Perairan Teluk
Bone). Jaraknya sedikit lebih jauh dibanding pulau yang lain. Dalam
Bahasa Bugis, Pulau Batang Lampe berarti Pulau yang bentuknya memanjang.
Untuk menuju ke sana, hanya bisa dilalui dengan jalur transportasi
laut, yaitu dengan perahu motor.
Pulau ini berpenghuni sekitar
80-an Kepala Keluarga (KK). Kurang lebih hanya sekitar 30 persen dari
area pulau yang dipakai sebagai tempat bermukim. Selebihnya merupakan
bukit, dan batu karang dikelilingi laut. Mengingat bentuk pulau yang
memanjang, letak rumah penduduk terbagi dua. Sebahagian penduduk tinggal
di sebelah Selatan dan Sebahagian lagi di Utara. Adanya bukit yang
memisahkan mereka tidak membuat keakraban dan silaturahmi menjadi
renggang.
Sehari harinya untuk menuju ke
kampung sebelah, kita bisa menyusuri anak tangga yang menanjak dan
berliku. Kita juga bisa menggunakan perahu untuk memutari pulau. Kadang
kala kita juga bisa berjalan menyusuri pulau jika air laut surut di pagi
hari.atau di waktu waktu tertentu.
Seperti pulau pulau lainnya di
wilayah kecamatan Pulau Sembilan, Pulau Batang Lampe juga mendapatkan
bantuan mesin genset dari Pemkab Sinjai. Tetapi berhubung genset ini
hanya terbatas untuk pemakaian 5 jam saja (dari pukul 18.00 - 23.00
Wita), untuk itu disarankan jika berkunjung ke pulau ini sebaiknya
mengisi ulang baterei handphone, laptop, kamera atau handycam dan barang
elektronik.
Di balik keramahan penduduk dan
suasana alam yang asri, ditambah dengan pasir putih dan batu karang,
sarang burung Walet (yang pengembangannya masih dalam taraf penelitian),
pembudidayaan teripang dan rumput laut serta beberapa titik lokasi
mancing dan penyelaman (diving) laut biru, pulau ini ternyata menyimpan
cerita rakyat di masa penjajahan Belanda. Cerita Rakyat itu adalah Batu
Balandae. atau artinya “Batu si Belanda”.
Pulau Batang Lampe tampak laut
Pulau Batang Lampe tampak darat
Batu Balandae adalah sebuah batu
besar hitam di mana terdapat sebuat pola gambar warna putih dan rona
kuning pada dinding batu yang nampak menyerupai seseorang serdadu yang
menengadahkan tangan kanannya ke atas. Konon, pada masa penjajahan
Belanda, bukit ini dijadikan sebagai tempat persinggahan dalam
perjalanan para serdadu menuju tujuan berikutnya.
Suatu hari, seorang serdadu
Belanda tengah berburu ke hutan. Setelah seharian berburu, serdadu ini
kelelahan dan akhirnya memutuskan untuk beristirahat sejenak. Samar
samar, tampak olehnya, sebuah batu hitam besar dengan cekungan berbentuk
gua tidak jauh dari tempatnya berdiri..
Sang serdadu akhirnya memutuskan
untuk beristirahat saja di cekungan batu besar tersebut. Hujan pun
turun dengan derasnya. Sang serdadu masih saja bernaung di bawah batu
besar itu. Tiba-tiba petir menyambar dengan kerasnya. Tubuh sang serdadu
terhempas akibat petir tersebut. Seiring berkembangnya waktu, sampai
sekarang cerita rakyat penduduk setempat mengatakan, bekas darah dan
tubuh yang menempel pada dinding batu adalah bekas tubuh serdadu Belanda
yang mati akibat terhempas sambaran petir.
Benar tidaknya cerita rakyat
tersebut, demikanlah sekelumit cerita rakyat yang berkembang di Pulau
Batang Lampe mengenai keberadaan Batu Balandae. Untuk menuju ke Pulau
Batang lampe, diperlukan waktu kurang lebih 1 jam 30 menit dengan
menggunakan perahu. Dari pulau ke Batu Balandae juga tidak sulit. Kita
bisa berjalan menyusuri pinggir pulau jika air laut sedang surut atau
bisa juga lewat jalan setapak yang menanjak.
Batu Balandae memang belum
seterkenal legenda batu Malin Kundang, di pantai Air Manis, Sumatera
barat, atau fosil fosil batu purbakala lainnya di Indonesia. Di antara
beberapa obyek wisata lainnya yang berada di Kabupaten Sinjai,
keberadaan batu Balandae ini memang sedikit “tenggelam” dan belum
tergarap secara maksimal.
Menurut Pak Makmur, Kepala Desa
Pulau Batang Lampe, di pulau ini masih ada beberapa potensi alam lainnya
yang bisa dikelola secara profesional. Meski baru beberapa bulan
menjabat, Pak Makmu, insinyur Teknik Perkapalan Unhas ini mengatakan,
tentunya untuk membuat Pulau Batang Lampe menjadi lebih baik lagi hingga
setenar pulau pulau wisata lainnya, tentu tidak lepas dari tanggung
jawab berbagai pihak dan masyarakat Pulau Batang Lampe itu sendiri.
Semoga.