Sebentar lagi kita akan memasuki bulan
suci Ramadhan. Seperti biasa, isu perbedaan awal Ramadhan/Syawal sering
mencuat pada saat-saat semacam ini. Apa saja sih faktor-faktor yang
menyebabkan perbedaan tersebut? Inilah yang akan kita pelajari dalam
catatan kali ini.
Kita tahu bahwa penanggalan Islam
dihitung berdasarkan peredaran bulan mengelilingi Bumi (dikenal sebagai
penanggalan sinodis). Fase bulan--yang semula gelap lalu nampak kecil
berbentuk sabit tipis, lantas semakin besar hingga purnama untuk
kemudian mengecil lagi--dijadikan pedoman dalam menentukan bulan-bulan
Islam.
Untuk penetapan awal Ramadhan
dan Syawal, Rasulullah memerintahkan "Berpuasalah kamu jika melihat
bulan, dan berbukalah jika melihat Bulan". Perintah ini praktis karena
dapat dilakukan oleh setiap orang tanpa harus mengetahui perhitungan dan
data astronomis. Berdasarkan perintah Rasul tersebut, maka tiap bulan
menjelang awal bulan Ramadhan dan Syawal, diadakan pengamatan untuk
melihat bulan sabit (hilal).
Kegiatan inilah yang biasa
disebut sebagai ru'yatul hilal atau juga dikenal sebagai ru'yat saja.
Ru'yat diadakan sesaat setelah matahari terbenam karena bulan sabit
pertama akan nampak di sekitar arah matahari terbenam. Jika bulan sabit
tersebut nampak, maka malam itu dan keesokan harinya dihitung sebagai
tanggal satu bulan baru (Ramadhan/Syawal), namun apabila bulan tidak
terlihat maka dilakukan istikmal (menggenapkan bulan berjalan sebanyak
30 hari).
Selain ru'yat, kita juga
mengenal metodologi hisab untuk untuk menentukan awal bulan hijriyah.
Hisab dalam bahasa Arab artinya menghitung, jadi metodologi ini
menggunakan perhitungan untuk menentukan awal bulan hijriyah.
Tahun lalu, disini kita pernah
belajar tentang kriteria visibilitas hilal sebagai salah satu faktor
yang penentu dari perbedaan awal bulan suci umat Islam (kalau lupa,
silahkan dijenguk lagi catatan 26 Oktober 2001 lalu). Tapi sesungguhnya
perbedaan awal bulan hijriyah ini bukan hanya sesederhana persoalan
kesesuaian antar hasil hisab dan ru’yat saja.
Persoalan pertama adalah soal
ru’yat. Ada ketidaksesuaian pendapat tentang sejauh mana hasil ru’yat
berlaku. Ada ulama yang berpendapat bahwa hasil ru'yat hanya berlaku
lokal dengan radius sekitar 90 km (disebut sebagai matla') dengan alasan
bahwa hilal selalu terlihat terlebih dahulu di daerah yang terletak
lebih ke sebelah barat sementara di sebelah timurnya bulan masih ada di
bawah ufuk (cakrawala). Adapun Angka 90 km dianalogikan dengan jarak
yang membolehkan seseorang meng-Qashar sholatnya.
Namun ada pula ulama yang
beranggapan bahwa hasil ru’yat dapat berlaku untuk satu wilayah regional
tertentu (misalnya seluruh wilayah Indonesia). Pendapat lain adalah
bahwa hasil ru’yat dapat berlaku untuk keseluruhan wilayah suatu negara
tanpa memperhitungkan keterpisahan lokasi geografis (misalnya walaupun
secara geografis terpisah jauh, namun karena masih dalam satu wilayah
negara, maka hasil ru’yat di Hawaii juga dapat berlaku di seluruh
Amerika Serikat).
Golongan yang lebih "ekstrim"
malahan berpendapat bahwa hasil ru’yat dapat berlaku untuk seluruh
dunia, artinya bahwa dimanapun ada laporan penampakan hilal, maka di
wilayah manapun di dunia, esoknya akan dihitung sebagai tanggal satu
bulan berikutnya. Kelompok ini mendasarkan argumennya pada persatuan
umat Islam. Sayangnya, dari segi penanggalan konsep ini tidak ideal
karena dengan demikian, tanggal yang sama akan jatuh pada hari yang
berbeda pada tempat yang berbeda. Kasus lainnya adalah penentuan hasil
ru’yat penentu awal bulah Dzulhijjah sebagai patokan hari raya Haji
(Idul Adha). Karena ritual Haji dilaksanakan di Arab Saudi, maka banyak
pihak yang berpendapat bahwa hasil ru’yat yang digunakan adalah hasil
ru’yat di Arab Saudi.
Persoalan kedua, menyangkut
hisab. Sebagian kaum muslimin menggunakan ilmu ini dengan cara mencari
data ketinggian dan arah hilal serta mengancang-ancang berapa lama hilal
berada di atas ufuk setelah matahari terbenam. Kelompok ini tetap
berpegang kepada ru'yat dalam menentukan awal dan akhir Ramadhan,
artinya, walaupun hilal menurut perhitungan sudah mungkin dapat dilihat
tetapi dalam kenyataannya tidak ada seorangpun yang dapat melihatnya,
maka tetap harus dilakukan istikmal. Sebagian lainnya berpendapat bahwa
perhitungan yang akurat dapat dijadikan penenetu awal dan akhir
Ramadhan. Kelompok ini tidak lagi melakukan ru'yat untuk menentukan awal
dan akhir Ramadhan. Ru'yat bagi mereka hanya sesekali dilakukan hanya
untuk mengecek dan menyempurnakan data dan sistem perhitungan mereka.
Masalahnya, data dan sistem
perhitungan bulan yang berkembang dan digunakan oleh umat Islam di
Indonesia sampai saat ini masih berbeda-beda. Ada yang menggunakan data
dan sistem yang dikembangkan pada abad ke XV masehi, dengan data tetap
dan koreksi yang sederhana, sementara ada juga yang sudah menggunakan
data kontemporer yang diambil dari lembaga-lembaga astronomi
internasional dengan perhitungan matematika mutakhir. Karena sistem
perhitungannya berbeda maka tingkat akurasinya tentu juga berbeda.
Akibatnya, sering terjadi ketidak cocokan antara satu sistem perhitungan
dengan sistem lainnya.
Saat ini teknik perhitungan fase
bulan sudah berkembang semakin maju sehingga tingkat akurasinya juga
makin tinggi. Namun demikian sebagian besar kaum Muslimin, masih tetap
merasa perlu melakukan ru'yat, selain untuk memberikan kepastian, juga
mengikuti perintah Rasulullah. Disini ada permasalahan yang muncul
karena dalam perhitungan astronomis, ada beberapa faktor yang bisa
menyebabkan hilal tidak dapat diru'yat walaupun "diatas kertas" sudah
terlihat.
Persoalan lainnya menyangkut
hisab (dan ini patut disayangkan) adalah bahwa banyak kalangan yang
masih mengira kalau kegiatan hisab adalah sesuatu yang bersifat "supra
natural", yang hanya bisa dilakukan oleh orang-orang tertentu yang punya
semacam "indera keenam". Padahal, perhitungan awal bulan hijriyah
adalah murni perhitungan matematis, lengkap dengan segala variabel dan
konstanta yang harus diolah dalam sebuah rumus. Akibatnya, banyak orang
yang cenderung lebih percaya hasil hisab oleh "orang pintar" ketimbang
astronom. Aneh memang.